20 May 2011

Bulan separo

"Kenakan mahkotamu, Sayang..."

Dia pun mengenakannya, meletakkannya perlahan. Sangat perlahan bahkan. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar-binar. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya dia mengenakan mahkota itu.
Mahkota itu belum tertata rapi di kepalanya, aku segera membetulkan letaknya. Aku berdiri tepat di depannya, hanya berjarak beberapa senti darinya. Kutegakkan mahkotanya dan kubebaskan rambutnya yang tersingkap oleh mahkota.
Kulihat ia terpejam, tersenyum. Aku ikut diam, tapi tanganku masih di atas kepalanya. Dia tetap bergeming, tapi tak lama. Lalu ia membuka mata, menatapku. Aku hanya bisa tersenyum. Kebahagiaan membuncah di sanubariku. Dia menghela napas panjang, tampaknya ia juga merasakan hal yang sama. Hening yang indah, pikirku. Tapi sesaat kemudian dia berkata. Sebuah pertanyaan.

"Apa kau rela mati demi aku?"

Aku tak terkejut, tapi aku membisu, sengaja membisu. Ia menunggu jawabku dengan cemas.

"Tidak," jawabku setengah berbisik.

Dia tertegun, wajahnya sedih seketika. Aku tersenyum padanya, tapi dia tetap sedih.

"Bila jawaban ya bisa membuatmu kembali tersenyum, baiklah aku akan menjawabnya ya. Tapi sejujurnya aku tidak,"

Lalu aku tertawa. Wajahnya yang sedih tiba-tiba berubah heran. Dia menaikkan alisnya sebelah, lucu sekali.

"Kaki-kakimu yang kecil itu mudah lelah...
Apa yang akan terjadi ketika kamu menyusuri seluruh penjuru dunia dan kemudian kakimu lelah, sedang aku tak ada di sana untuk menggendongmu?

Kamu sangat senang berada di atas ayunan, menerpa angin ketika terbang mengayun...
Apa yang akan terjadi bila kamu menaiki ayunan dan menunggu, sedang aku tak ada di sana untuk mendorong ayunanmu?



Jari-jarimu sangat suka membelai jutaan bunga yang terhampar di padang yang luas... 
Apa yang akan terjadi bila kamu berlari di padang dan kemudian ujung jarimu terluka ketika menyusuri bunga-bunga, sedang aku tak ada di sana untuk memberinya hansaplast lalu mengecupnya?

Kamu sangat mudah panik...
Apa yang akan terjadi bila hatimu sedang cemas dan panik tanpa sebab, sedang aku tak ada di sana untuk memelukmu untuk menenangkanmu, dan membisikkan padamu bahwa semuanya baik-baik saja?

Jadi, bagaimana bila kalimatnya diganti 'apa kau rela hidup demi aku?'"

Dia tak menjawab. Air mata mengalir pelan di pipinya. Kuberikan sapu tanganku untuk menghapus air matanya.

No comments:

Post a Comment