28 April 2011

Ujian Nasional, Ada yang Salah?!?

Ujian Nasional.
Kata ini seakan menjadi momok super seram di kuping para pelajar negeri ini. Ketika mendengar kata UNAS, banyak pelajar merasa minder dan ketakutan. Bahkan, bagi pelajar yang cukup pandai sekalipun, UNAS mampu merenggut kepercayaan dirinya dalam mengerjakan soal. Berbagai cara dilakukan para pelajar dalam menghadapi ujian nasional, mulai dari mengikuti tambahan pelajaran di berbagai lembaga bimbingan belajar mulai dari pagi hingga pagi lagi, hingga industri jual beli soal yang harganya selangit. Kedua fenomena tersebut seakan mencerminkan potret pendidikan Indonesia yang payah.

Sumber gambar

Fenomena pertama, lembaga bimbingan belajar yang menjamur. Berbagai nama dan jargon yang diusung oleh berbagai LBB ini mampu menyihir para siswa untuk mengikuti program-programnya. Waktu pembelajarannya pun tak tanggung-tanggung, enam jam bro! enam jam! Hampir sama dengan waktu efektif sekolah. Sejauh pengamatan saya terhadap teman-teman saya, sekitar 98% mengikuti lembaga bimbingan belajar. Wow, angka yang fantastis. Hei, tapi mengapa? Seakan-akan pembelajaran di sekolah terasa sangat kurang, hingga harus "mengulang sekolah" di LBB. Apa memang begitu kenyataannya? Sebagian besar temanku berkata Ya! ckck. Kalau memang benar begitu, nampaknya pemerintah harus turun ke lapangan untuk mengevaluasi sistem pengajaran di sekolah-sekolah. Tapi menurutku, belajar di sekolah jauh lebih menyenangkan daripada di LBB dan para gurunya pun mengajar dengan tulus, bukan karena bisnis semata. Meskipun beliau-beliau kebanyakan masih mengajar dengan sistem oldschool yang sebenarnya kurang cocok dengan kondisi anak zaman sekarang, tapi belajar di sekolah kurasa cukup kalau hanya untuk mengerjakan ujian nasional.


Tapi sebenarnya, kebijakan pemerintah mengenai ujian nasional sungguh merupakan ironi. Di saat pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan dan menyetarakan peningkatannya ke seluruh penjuru Indonesia, para siswa justru mementahkan tujuan mulia pemerintah ini dengan jual beli soal dan joki yang seolah sudah menjadi rahasia umum. Uang jutaan untuk biaya sekolah, seakan tak berarti. Puluhan juta kembali digelontorkan untuk membeli jawaban soal. Para dukun pun kebanjiran pasien dari orang tua sang anak. Bahkan ada seorang siswi yang rela melepas kegadisannya pada seorang dukun, semua itu semata-mata hanya demi lulus. Sungguh ironi.

Sumber gambar

Setelah fakta tersebut, pertanyaannya sekarang adalah masih haruskah ada UNAS? Tujuan memang mulia tapi fakta berkata lain bro! Sudah saatnya membuka mata. Sudah saatnya berheti berpura-pura semuanya baik-baik saja. Ini salah! Ujian nasonal menurutku membuat generasi penerus bangsa ini justru menjadi semakin payah. Bahkan aku yakin para koruptor bangsa ini berawal dari sini. Sejak kecil kita sudah terbentuk untuk mengkorupsi nilai yaitu dengan menyontek, membeli soal, dan joki. Selain itu tak pernahkah terlintas bagaimana soal itu bisa bocor? Ini juga salah satu praktik korupsi, entah dari departemen pendidikan, tim pembuat soal, maupun bagian percetakan. Sekarang coba pikir, setelah mendapat nilai bagus, anak-anak itu mendapat kuliah yang bagus (hasil joki lagi), lulus dengan nilai yang bagus pula (beli skripsi) dan akhirnya memegang posisi pemerintahan, tentunya tak luput pula posisi di departemen pendidikan. Karena mereka dari kecil sudah korupsi, akhirnya waktu bekerja di departemen pendidikan, korupsi kembali menjadi raja, dan akhirnya soalnya bocor lagi, dan generasi berikutnya beli lagi. Lalu jadi orang di departemen pendidikan lagi, bocor lagi. Begitu terus tiada akhir.

Selain menciptakan generasi koruptor, ujian nasional juga berpotensi melahirkan generasi pecundang. Ini fakta. Dulu saya punya kerabat di suatu daerah. Anaknya sangat periang dan optimis, serta suka mencoba hal-hal baru yang positif. Waktu kelas 3 SMP, dia ditawari temannya untuk ikut membeli soal, tapi dia tidak mau sebab dia percaya bisa mengerjakannya, lagipula dia termasuk anak pandai menurutku. Pendek cerita, ujian nasional selesai. Pengumuman. Dia gagal. Akhirnya dia ikut paket C. Enam bulan setelah dia SMA, aku mengunjunginya. Berubah total! Dia kini jadi orang yang pemurung, mudah marah, dan penakut. Dia trauma, sungguh kasihan. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab? Iya kalau cuma satu atau dua orang, bagaimana jika ada jutaan anak menjadi "korban" seperti itu? Mau jadi apa bangsa ini?

Oh iya, ujian nasional ini sebenarnya juga merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap para pengajar di daerah. Bukannya yang mengajar itu para guru? Jadi yang tahu kelebihan dan kemampuan siswa secara menyeluruh adalah guru masing-masing. Lalu mengapa harus pusat yang memvonis anak itu pantas lulus atau tidak? Bukan guru-guru itu? Kasihan sekali nasibmu Bu, Pak.

Itulah fakta di lapangan. Begitu rusuhnya pendidikan di Indonesia hanya gara-gara ujian nasional. Kalau sudah begini, masih haruskah ada Ujian Nasional?

No comments:

Post a Comment