Kemarin sore ada mbok jamu lewat di depan rumahku, menawarkan dagangannya ke orang-orang. Anak-anak kecil sontak berhamburan menuju mbok jamu itu, membeli sinom. Kelihatannya mbok jamu sudah lelah, tapi tetap semangat berjualan dengan sikap yang ramah.
Otakku membaca, nampaknya ada yang salah. Penjual jamu ternyata sangat baik hati. Ibu paruh baya itu menyapa semua orang di sekitarnya, dan menurutku itu tulus.
Naluri keibuan seorang tukang jamu ternyata juga sangat tinggi, beliau tak uring-uringan ketika anak-anak kecil memainkan semua perabotan jualannya, gelas, botol yang telah kosong, air untuk mencuci gelas, bahkan capingnya pun tak luput dimainkan anak-anak. Tapi beliau hanya berkata "ati-ati kalau mainan ya nak" sambil tersenyum, dan itu tulus pula.
Sering kudengar kalimat "kamu itu cerewet, kayak tukang jamu aja!" Wew, itu tidak baik, mencitrakan seseorang terhadap sesuatu yang tidak baik, lalu mengasosiasikannya untuk menghardik seseorang. Hmm, kasihan sekali. Bukan mbok jamu maksudnya yang kasihan. Yaa, menurutku bukan mbok jamu lah yang harus dikasihani dengan predikat "cerewet"nya, melainkan orang-orang yang tak pernah merasakan keramahan seorang penjual jamu sehingga mereka dengan mudahnya memberikan citra "cerewet" kepada Ibu paruh baya yang baik hati ini.
Wow, sore ini beliau datang lagi... dan masih dengan senyum ramah yang sama.
Selamat bekerja, Bu! Semoga laku keras!

No comments:
Post a Comment